Pilkada: Masalah dan prospek

9:07 AM Edit This 0 Comments »

Hadi Soesastro membuka seminar dengan secara singkat menekankan pentingnya melihat proses Pilkada sebagai bagian integral dari proses demokratisasi di Indonesia. J Kristiadi sebagai moderator memulai dengan sebuah pembukaan singkat sambil memperkenalkan para pembicara.

Progo Nurjaman, Kepala Desk Pilkada dari Departemen Dalam Negeri menyampaikan upaya-upaya pemerintah dalam menyelamatkan Pilkada. Pilkada meskipun dilaksanakan di tingkat lokal, implikasinya akan mencapai tingkat nasional juga. Setelah UU No. 32/2004 ditetapkan Oktober 2004, beberapa hal penting telah diproses. Salah satunya adalah pembentukan PP MRP bersama-sama dengan tokoh masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan PP Pilkada terlepas dari keterbatasan waktu dan pendanaan mengingat penetapan APBN dan ABPD sudah berjalan.



Dalam UU No. 32/2004, hal penyelenggara Pilkada menjadi bagian dari kontroversi. KPUD dipandang mudah dikemudikan oleh DPRD. Selain itu, persyaratan partai politik mengajukan calon (partai dengan 15% kursi di DPRD) juga dipandang problematik. Judicial review yang diajukan oleh beberapa LSM diluluskan oleh Mahkamah Konstitutsi.

Paska judicial review, Depdagri mengadakan konsolidasi dengan KPUD terutama dalam mengisi lubang-lubang yang ada di UU No. 32/2004. Salah satu adalah jika terjadi keperluan untuk menunda karena bencana atau hal lain. Dikeluarkannya perpu yang disempurnakan digunakan untuk mengisi kekosongan tersebut.

Kemandirian KPUD ternyata tidak membawa kepastian maupun jaminan akan lancarnya proses Pilkada. Permasalahannya ada 3 hal setidaknya:

1. Waktu pendaftaran calon diganggu oleh masalah konflik internal partai.
2. Fanatisme pendukung partai politik yang kandidatnya tidak lulus verifikasi ataupun tidak memenangkan pilkada.
3. Tidak profesionalnya KPUD yang berdampak pada proses Pilkada setelah calon-calon tersebut terpilih.

Selain itu supervisi KPU tidak bisa optimal mengingat masalah internal KPU di pusat berkaitan dengan kasus korupsi.

Rata-rata partisipasi masyarakat sejauh ini adalah sekitar 73% (terendah sekitar 49,64% dan tertinggi melebihi 99,79%) di 173 daerah. Jumlah relatif lebih kecil di daerah perkotaan.

Permasalahan gugatan hasil Pilkada di Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi. Hampir setengahnya, 53 daerah, mengajukan gugatan. Proses sudah berjalan dan saat ini masih tersisa sekitar 10 wilayah. Provinsi Bengkulu dan 6 kabupaten harus melaksanakan putaran kedua karena tidak mencapai batas minimum pemenang Pillakada dalam satu putaran.

Untuk ke depan ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh Nurjaman terlepas dari banyaknya permasalahan. Harus mengantisipasi hal-hal yang belum diatur dalam UU No. 32/2004. Usulan mengajukan UU Pilkada yang tersendiri sedang dibicarakan dengan lembaga legislatif. UU No. 32/2004 menjadi ‘cantelan’ dari UU Pilkada tersebut. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sedang disusun saat ini supaya ke depannya tidak perlu membuat perpu-perpu yang fungsinya melengkapi kekurangan UU.

Solusi jangka pendek adalah perlunya menyelesaikan permasalahan hukum seputar pengangkatan kepala daerah. Masalah di Aceh paska MoU Helskinki juga menjadi prioritas. Untuk jangka menengah adalah mengevaluasi DIM dan pelaksanaan Pilkada di daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus di Aceh dan Papua. Untuk jangka panjang, perlu direvisi UU No. 32/2004 sambil menyiapkan dasar-dasar untuk UU Pilkada.

Adhy Aman dari CETRO menambahkan informasi seputar kendala-kendala Pilkada dan alternatif solusi dengan tujuan perbaikan proses Pilkada. Persoalan peraturan yang datangnya terlambat setelah anggaran sudah ditetapkan. Permen Depdagri mengatur mata-mata anggaran yang berbeda dengan pengaturan anggaran di daerah. Jika memang niatannya memberikan otonomi yang lebih luas untuk daerah, harusnya PerMen Depdagri seperti itu tidak muncul. Larangan pegawai negeri menjadi anggota KPUD juga menjadi salah satu contoh yang membawa implikasi. Padahal menurut PP, pegawai negeri adalah elemen netral, jadi harusnya tidak usah dilarang.

Masalah pendaftaran pemilih terkait dengan masalah kepastian hukum karena tidak menggunakan data pemilih yang terakhir — Pemilihan Presiden tahap ke-2 bulan September 2004. Data yang diserahkan oleh pemerintah daerah adalah data Pemilu Legislatif yang sebenarnya tidak secanggih yang dimiliki KPUD. Sempitnya waktu juga menjadi kendala. Sikap KPUD yang mau menerima dan memperbaiki menjadi sulit dilaksanakan karena keterbatasan waktu.

Masalah anggaran terkait juga dengan waktu. Jika Pilkada Juni 2005 bisa diundur, setidaknya 4 minggu, akan lebih meringankan kerja KPUD sehingga pelaksanaan Pilkada bisa relatif lebih lancar. Sehingga dana yang terlambat turun itu bisa diantisipasi. Persiapan pendaftara pemilih juga bisa dilaksanakan dengan lebih baik lagi.

Peluang untuk memundurkan Pilkada tidak tercapai dan penjelasan mengapa tidak bisa diundur tidak pernah begitu jelas. Yang penting adalah bagaimana pelaksanaan Pilada didukung oleh pemerintah, peraturan perundang-undangan dan seluruh masyarakat.

Masalah sengketa sebagai ramifikasi yang tak terhindarkan akibat persoalan di atas dan ditambah dengan kecenderungan pihak-pihak yang mencari keuntungan dalam konflik. Pengaturan, perencanaan dan pelaksanaan proses Pilkada menjadi titik penting untuk hasil Pilkada yang baik. Pengawasan harus juga menjadi faktor penting. Lembaga pengawas yang dibentuk secara terlambat mengakibatkan mereka sulit menjalankan tugas dengan baik. Karena Pengawas dibentuk oleh DPRD, di beberapa tempat dipandang partisan karena membawa kepentingan penguasa. Ke depan, harus ada solusi yang lebih baik dalam arti ke mana Panwas bisa diarahkan.

Berkaca dari Pemilu 2004, Panwas berusaha menjadi independen tapi tidak berhasil karena ia didirikan oleh KPU, dananya dialokasikan oleh KPU dan harus bertanggunjawab kepada KPU. Hal ini menyebabkan kemandirian Panwas menjadi terkompromikan.

Anggota KPU dan KPUD tidak boleh berafiliasi dengan partai politik maupun pemerintah untuk menjamin kemandirian. Proses rekrutmen anggota KPU dan Panwas menjadi penting. Integritas dan tingkat kerentanan terhadap korupsi harus menjadi indikator utama.

Aturan Pilkada yang terpisah dari aturan Pemerintah Daerah adalah ide yang baik. Jangka panjangnya, aturannya harus disatukan dengan aturan pemilihan lainnya. Harus ada kodifikasi aturan-aturan pemilihan antara pemilihan legislatif, presiden dan kepala daerah. Saat ini sangat tidak sinkron. Saat pembuatan UU-UU yang ada sepertinya tidak dilakukan perbandingan yang selayaknya. Yang terjadi adalah pengulangan-pengulangan atau distorsi-distorsi.

Sangat disayangkan saat KPU dikatakan tidak berwenang dalam Pilkada. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa saat ini, mengingat pemerintah sudah berpandangan mengenai KPUD, makan Pilkada saat ini diatur oleh KPUD. Tapi di masa yang akan datang, seyogyanya KPU yang bertanggung jawab dalam proses pilkada.

Masalah penindaklanjutan MoU Helsinki sangat baik dan CETRO sudah bersiap untuk membantu proses di Aceh. Demikian pula proses pembuatan DIM.

Tommi Legowo dari CSIS berfokus pada diskusi kualitas hasil Pilikada. Merujuk dengan permasalahan yang demikian besar, mungkin bisa dipertanyakan apa memang ada ukuran untuk kualitas Pilkada. 


Dikutip dari : www.csis.or.id 

0 comments: