Pengertian Cerpan
9:10 PM Edit This 0 Comments »2.1 Asal-Usul Cerpen
Cerita pendek berasal-mula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.
Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang binatang. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.
Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite lebih menyaran pada cerita yang terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda mengandung pengertian sebuah cerita mengenai asal usul terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.
Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.
Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah "novella" kelam yang tragis karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.
Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12) menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire, Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.
2.2 Unsur-Unsur Cerpen
Memahami sebuah cerpen tentu tidak dapat lepas dari pemahaman tentang unsur-unsur yang terdapat dalam cerpen tersebut. Sebagai sebuah bangun cerita, cerpen memiliki unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur tersebut akan menentukan bagaimana wujud sebuah cerpen, apakah menjadi cerita tragedi atau komedi, cerita sosial, budaya, politik, pendidikan, atau religius, dan sebagainya.
Berikut ini unsur-unsur pembangun cerpen :
2.2.a) Unsur Intrinsik
1. Tema (ide pokok cerita) : tempat meletakkan suatu perangkat (konflik-konflik)
2. Tokoh dan penokohan :
Tokoh dalam cerita berkaitan dengan orang atau sesuatu yang mendapatkan peran dalam cerita tersebut. Tokoh-tokoh tersebut dapat bersifat protagonis (peran baik) dan antagonis (peran tidak baik). Peran-peran tersebut (baik, tidak baik, dan sebagainya) disebut dengan penokohan (karakter).
Metode penokohan dibagi menjadi 2:
1. secara langsung/analitik
2. secara tidak langsung/dramatik :
a. Digambarkan melalui tempat/lingkuangan sang tokoh.
b. Digambarkan melalui percakapan sang tokoh/tokoh lain.
c. Digambarkan melaui pikiran sang tokoh/tokoh lain.
d. Perbuatan tokoh.
3. Latar
Latar dapat berupa tempat, waktu, atau keadaan. Dengan demikian, latar (setting) berkaitan dengan tempat cerita berlangsung, kapan terjadinya cerita tersebut, atau dalam keadaan bagaimana cerita tersebut terjadi.
4. Alur/Plot (jalan cerita yang berisi rangkaian peristiwa), meliputi permulaan/pengenalan, pertikaian, perumitan, puncak/klimaks, peleraian, dan akhir cerita.
5. Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam sebuah cerita apakah pengarang terlibat di dalam cerita tersebut atau apakah pengarang berdiri di luar cerita. Cara pengarang memandang para tokoh meliputi:
a. Sudut pandang yang maha kuasa adalah pengarang seolah-olah dia maha tahu pengarang ini mengambarkan semua tingkah laku dari pada tokoh-tokoh tersebut dan juga mengerti apa yang dikerjakan oleh tokoh tersebut.
b. Sudut pandang orang pertama, biasanya menggunakan kata aku.
c. Sudut pandang orang ketiga : Rani, Toni…(nama tokoh).
d. Sudut pandang objektif adalah pengarang bertindak seperti dalam sudut pandang yang maha kuasa tetapi pengarang tidak melukiskan batin tokoh-tokoh.
6. Amanat (pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita yang dibuat).
7. Nilai (hal-hal penting atau berguna yang dapat di contoh oleh pembaca).
8. Gaya bahasa : cara khas mengungkapkan pikiran/perasaan melaui bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan.
2.2. b) Unsur Ekstrinsik:
1. Sosial dan Budaya
2. Adat istiadat
2.3 Langkah Dalam Menulis Cerpen
Menulis cerpen dapat dilakukan dengan langkah-langkah seperti berikut:
1. Observasi (pengamatan) dan Menentukan Tema
Observasi (pengamatn, penelitian, pengalaman) terkadang bisa memunculkan tema tertentu. Di sisi lain, rumusan tema tertentu terkadang juga harus memutuhkan penjabaran melalui observasi, jadi observasi dan tema bisa saling melengkapi. Tema kadang-kadang berdasarkan kebutuhan hidup manusia. Tema factual ini diolah dengan daya khayal/imajinasi setiap penulis.
2. Menyusun Rincian Tema
Rumusan tema tersebut dijabarkan dalam rincian-rincian. Rincian ini dapat dipakai sebagai ide untuk dikembangkan menjadi peristiwa/kejadian. Contoh rincian:
- listrik masuk ke kampung-kampung.
- banyak warga beramai-ramai menjadi pelanggan listrik.
- Ada seorang warga yang berteguh hati untuk tidak pasang istrik.
- Tetangga mencerca warga tersebut.
- Tuduhan para tetangga dan hinaan warga yang tidak pasang listrik.
- Rumah gelap untuk memelihara tuyul.
Rincian ini kemudian dikembangkan dalam paragraf-paragraf.
3. Memilih Kata
Pilihan kata/diksi dalam cerpen diusahakan mudah dipahami dan komunikatif. Terkadang disisipkan dari bahasa daerah atau bahasa asing. Pilihan kata-kata dalam cerpen sama dengan percakan sehari-hari, hanya konteks dan lingkungannya saja yang berbeda. Perbedaan yang mencolok bahwa kata-kata dalam cerpen memilki banyak tafsiran.
2.4 Bagian yang Menarik dari Cerpen
Adapun bagian-bagian menarik dari cerpen di bawah ini menurut unsur-unsur intrinsik yang dijelaskan diatas adalah sebagai berikut:
1. a. Judul : Menu Makan Malam
b. Karya : Kadek Sonia Piscayanti
c. Unsur : alur dan latar (intrinsik)
d. Petikan :
Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.
2. a. Judul : Rumah Yang Terang
b. Karya : Achmad Tohari
c. Unsur : Alur (intrinsik)
d. Petikan :
Aku sendiri bukan tidak punya masalah dengan sikap Ayah. Pertama, akulah yang paling bayak menjadi bulan-bulanan celoteh yang kian meluas di kampungku. Ini sungguh tidak nyaman. Kedua, gajiku sebagai propagandis, pemakaian kondom dan spiral memungkinkan aku mempunyai radio, pemutar pita rekaman, juga tv (karena aku masih bujangan). Maka alangkah konyolnya, sementara listrik ditawarkan ke depan rumah, aku masih harus repot dan menyetrum aki.
Ketika belum tahu latar belakang sikap Ayah, aku sering membujuk. Lho, mengapa aku dan Ayah tidak ikut beramai-ramai membunuh bulan? Pernah kukatakan, apabila Ayah enggan mengeluarkan uang maka pasal memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena kata-kataku ini Ayah tersinggung. Tasbih di tangan Ayah yang selalu berdecik tiba-tiba berhenti.
“Jadi, kamu seperti semua orang yang mengatakan aku bakhil, dan pelihara tuyul?”
3. a. Judul : Teko Jepang
b. Karya : Jaso Winarto
c. Unsur : Latar (intrinsik)
d. Petikan :
Setiap pagi Widodo keluar dari gubuknya, meninggalkan istri dan ketiga anaknya, membawa plastik murahan berwarna hitam. Sudah semingu ini persediaan beras di rumah semakin menipis. Istrinya meratap, tapi Widodo hanya mengatakan menunggu beberapa hari ini. “Aku akan pulang dengan tas hitam ini penuh dengan uang.”
Dengan hati-hati dibukanya tas plastik hitam dan dikeluarkannya bungkusan yang kelihatan gawat. Dipegangnya bungkusan itu dengan sangat hati-hati, tangan istrinya dia larang menyentuh. “Awas, nanti pecah. Teko jepang ini hanya boleh dipegang oleh tangan yang ahli. Kau tahu, berapa harga teko ini?”
4 a. Judul : Jangan Pernah Tinggalkan Aku
b. Karya : Woo Vie
c. Unsur : Tema (intrinsik)
d. Petikan :
Vara kembali meraba hatinya mencari sisa-sisa asa yang pernah ditumpuknya. Entah apa sebabnya, serpihan luka yang kerap mewarnai hari-harinya enyah dengan sendirinya. “Kamu tahu, mengapa aku meninggalkan Indnesia? Karena aku tidak ingin terus terluka melihat kamu dan Ranti begitu mesra.”
Bagas terperangah. Dia tidak menyangka gadis tegar dan berani itu menyimpan perasaan yang sama dengannya. Begitu rapi Vara menyembunyikan semuanya. Waktu keberangkatan gadis itu dulu, Bagas menangkap luka di matanya. Tapi Bagas tidak tahu bahwa dialah penyebab luka itu. Kendati dia tidak dapat berdusta kehilangan camar itu, dibiarkannya juga camar itu terbang ke tempat lain.
“Lantas, bule yang diceritakan Anang?”
Vara menggeleng, “Tidak pernah ada, aku hanya menyimpan kasih untukmu.”
Sesaat sunyi sebelum akhirnya Bagas meraih jari mungil yang mulai kedinginan itu. Dan menggenggamnya dengan erat. Dia tidak ingin melepaskan camar itu lagi.
“Jangan pernah tinggalkan aku….”
5. a. Judul : Cinta Terlarang
b. Karya : Ganda Pekasih
c. Unsur : Latar (intrinsik)
d. Petikan :
Hari ini Mayang en genkya, mau meeting ngerencanain libur panjang. Mayang kemarin ngusulin ke Pantai Pasir Putih, Lampung biar dia sekalian bisa menjenguk neneknya. Cuma Usie ngusulin ke Bali, ini yang bikin usulan Mayang nggak banyak yang setuju, soalnya teman-teman sekelasnya masih banyak yang belum pernah ke Pulau Seribu Pura itu.
Nggak lama Mayang berdiri di halte, angkot yang biasa ditumpanginya ke sekolah lewat. Mayang melambaikan tangan. Mikrolet berhenti. Mayang naik. Tempat duduk cuman tinggal satu, nyempil lagi di belakang. Yah, lumayan, namanya juga kendaraan umum. Mayang pun duduk. Mikrolet lalu mulai bergerak, menyusuri kepadatan jalan raya. Tiba-tiba entah kenapa ada perasaan aneh yang dirasakan Mayang, beberapa penumpang mahasiswa dan cowok-cowok berseragan putih abu-abu berbisik-bisik sambil tersenyum ke arahnya. Mayang kontan merasa tersinggung. Kenapa gue? Cakep ya? Ge-er Mayang dalam hati. Tapi rasa ketersinggungan Mayang segera hilang, gantinya malah lebih dashyat. Gimana nggak dashyat? Salah seorang penumpang, cowok yang tampangnya norak banget, memakai kemeja yang sama yang dipakai oleh Mayang….
6. a. Judul : Surat Rahasia
b. Karya : Hervianna A. Hiskia
c. Unsur : Penokohan
d. Petikan :
Setelah Ghea pergi , Rendo tetap terduduk lemas di kursi dengan rambut acak-acakan. Bodoh tadi kata Ghea? Ya, Ghea benar. Alangkah bodohnya ia yang tak menyadari kalau sebenarnya Ghea dan Aryo sudah berhubungan sedemikian dekat. Sampai-sampai sebelum berkirim suratpun Aryo sudah memberitahukannya kepada Ghea. Mungkin melalui telepon. Hm,,,,pantas sepertinya Ghea sudah menunggu-nunggu surat tadi. Rendo merasa lebih baik pantatnya disengat seratus tawon daripada menahan sakit hati begini. Eh, lebih baik dicubiti Ghea seratus kali. Toh cubitan Ghea tak kalah perih dari sengatan tawon.
Saat itu Rendo bertekad tak akan memperdulikan hubungan yang terjadi anatara Ghea dan Aryo. Namun, ketika dua hari kemudian Ghea memintanya memberikan surat balasan ke Aryo, Rendo tetap saja tak bisa menolak.
“Berikan sendiri aja deh. Gue nggak enak ngurusin cinta orang.” Rendo coba memberikan alasannya. Sebenarnya ia cemburu. Sebenarnya ia sakit hati. Sebenarnya ia ingin bersikap sinis. Namun, lagi-lagi ia tak tega ketika melihat wajah Ghea menatapnya penuh harap. Duh, Ghea lo tau nggak sih kalo gue cinta ama lo!
“Please, Ndo, kalo gue yang ngasih, temen-temen bisa tau. Padahal Aryo belum mau ketahuan. Katanya dia belom siap.” Bujuk Ghea
Bah! Bah! Rendo menggeram dalam hati. Belum siap bagaimana?! Cowok apaan tuh si Aryo? Keterlaluan betul dia! Berani menyatakan cinta, tapi bilang belum siap menghadapi resiko cinta. Rendo pusing memikirkannya. Ia membandingkan Aryo dengan dirinya. Aryo bilang belum siap, tapi sudah berani menyatakan cinta, sedangkan dirinya, sudah sejak lama ia mencintai Ghea tapi tidak berani bilang. Meskipun begitu, tetap saja Aryo yang berhasil mendapatkan cinta Ghea. Sialan!
7. a. Judul : Secangkir Kopi Pahit dan Lngit-langit Kamarku
b. Karya : Siti Rahmah
c. Unsur : Alur
d. Petikan :
Perhatianku tertuju pada langit-langit kamar. Kuamati bercak-bercak coklat menggantung seakan-akan siap menjauhi diriku. Tampak kusam kini, tidak seputih dulu. Pikiranku terbang melesat ke waktu dua puluh tahun lalu ketika pertama kali aku memasuki kamar pertamaku ini. Dindingnya putih, langit-langitnya pun begitu putih, suci. Entah kenapa, langit-langit kamar itu selalu menarik perhatianku waktu kecil. Aku suka sekali menatapinya dengan pandangan hampa. Kelamaan aku merasa langit-langit kamar itu tersenyum. Itu bukan mimpi, itu nyata! Awalnya aku takut melihat senyum itu. Kulihat senyumnya itu begitu tulus. Akupun membalas senyum itu. Aku ingat sekali waktu itu ketika kali pertama suatu masalah mengganggu hati dan pikiranku. Waktu itu aku menangis sejadi-jadinya. Tak ada teman untuk berbagi. Lalu kudengar langit-langit kamarku membisikkan sesuatu di telingkaku, begitu lembut dan menyejukkan. Kami pun berbicara panjang. Sejak saat itu pula, kulihat bercak cokelat pertama di langit-langit kamar itu. Setelah itu, setiap masalah mendera hati dan pikiranku, bercak cokelat itu pun bertambah terus, dan terus, hingga aku sebesar ini.
0 comments:
Post a Comment